Oleh :
Agus Sulistiyono
MAX
SCHELER : ETIKA NILAI
Max
Scheler lahir di Munchen Jerman selatan pada tanggal 22 Agustus 1874. Ibunya
Yahudi dan ayahnya protestan. Kesukaannya pada ilmu pengetahuan membuat Scheler
kecil yang berusia 15 tahun rela kehilangan harta warisan dari seorang paman
Yahudi yang kaya untuk menuntut ilmu di Gereja Katolik. Perjalanan hidup dan
pemikiran Max tidak dapat dilepaskan dengan langkah - langkah kehidupannya yang
berliku mengenai wanita, karir, dan intelektualnya. Max pernah berkata bahwa
“Untuk mengembangkan segala filsafat yang ada dalam diriku, aku seharusnya
memerlukan setidaknya 7 wanita”. Max Scheler memiliki pemikiran tentang
fenomonologis, beliau banyak terpengaruh dan terobsesi oleh gurunya Edmund
Husserl. Menurutnya filsafat jangan bertolak dari segala macam teori, prinsip
pengandaian, keyakinan dan sebagainya. Melainkan harus memperhatikan apa yang
nyata-nyata memperlihatkan diri dalam pemikiran kita. Max memiliki metode yaitu
metode enbelen yang merupakan
penghayatan segar terhadap pengalaman. Suatu kebenaran bukanlah hasil pikiran
atau suatu pertimbangan, melainkan harus dicari dengan membuka diri. Atas dasar
yang demikian yang terbuka terhadap kenyataan yang menyatakan diri itu lalu
beliau berefleksi dan ingin mencoba memahami dan mempelajari lebih dalam.
Beliau
memiliki etika filsafat yang dinamakan etika Scheler yang merupakan tentang
manusia, agama, pesona, dan Tuhan yang telah berakar dalam sebuah pengalaman
dasar dan pengalaman akan nilai. Max merupakan lawan pemikiran dari Kant dan
Nietzhe. Kant berfikir bahwa moralitas seseorang bersidat formalisme, karena
bergantung pada situasi dan kondisi serta tidak mutlak. Sebuah perbuatan yang
baru akan bernilai moral bila tindakan itu adalah berbentuk murni karena
merupakan suatu kewajiban. Akan tetapi Scheler membantahnya karena mnurutnya
apa yang Kant pikirkan tesebut bukanlah hakikat moralitas yang sebenarnya. Jika
sebuah tindakan bernilai secara moral karena merupakan kewajiban, melainkan
merupakan kewajiban karena bernilai secara moral. Nilai mendahului kewajiban.
Inti moralitas bukanlah kesediaan untuk memenuhi kewajiban, melainkan kesediaan
untuk merealisasikan apa yang bernilai. Sehingga untuk dapat mengusahakan
nilai-nilai moral, manusia tidak perlu diperintahkan karena manusia dengan
sendirinya tertarik oleh apa yang bernilai. Nilai menjadi pusat moralitas1.
Nilai
itu sendiri merupakan tindakan apriori. Suatu keberadaannya tidak tergantung
pada apakah perbuatannya atau tidak. Menurut max nilai kejujuran tidak bergantung
dari adanya orang yang jujur, nilai itu sendiri mendahului segala pengalaman
walau suatu tindakan tersebut bernilai. Scheler menyebutkan bahwa etikanya
sebagai nilai material jujur. Jujur, vital, enak, adil, indah, kudus dan semua
nilai yang kita langsung tau “apanya”. Selain itu kewajiban akan jadi tidak
dimengerti karena kita tidak tahu apa yang wajib kita lakukan. Menurut Kant
tidak melihat bahwa nilai mendahului segala pengalaman dan tidak tergantung
dari sebuah konteks dan bernilai apriori serta mutlak. Pandangan Scheler pun
juga berlawanan dengan Nietzhe yang berpandangan relativisme pada etika. Beliau
berfikir bahwa nilai tidak diciptakan, melainkan ditemukan. Nilai
memiliki objektivitas yang sama dengan hukum logika. Manusia bisa saja buta
nilai atau tidak menyadari sebuah nilai, tetapi nilai itu tetap “ada”.
Menurut
Scheler bahwa nilai itu tidak dapat dipikirkan, akan tetapi hanya dapat
dirasakan ( pendapat Scheler yang benar-benar terbaru ). Orang – orang filsafat
barat jarang membicarakan tentang rasa, karena biasanya akan kalah antara
pengetahuan rohani dengan pengalaman indrawi. ‘merasa’ bukan merupakan suatu
hasil dari pengalaman indrawi, tapi merupakan suatu yang khas yang dimiliki
oleh manusia. Maka dari itu beliau membuat sumber pengetahuan yang baru berupa
apriori emosional. Objek indrawi ditangkap, konsep dipikirkan tetapi nilai
dirasakan. Ia menilai bahwa perasaan sebagai keadaan subyektif kita sendiri. Ia
juga mengembangkan nilainya tentang pesona dan cinta. Dengan memiliki pesona
maka manusia berbeda dengan binatang, karena binatang tidak memiliki nilai.
Manusia juga yang merupakan makhluk yang ingstingtual maka akan mengetahui dan
menyadari mana yang baik dan mana yang buruk untuk dirinya. Suatu pesona tidak
dapat identik dengan sesuatu karena pesona akan dapat di ketahui dari luar.
Akan tetapi kita dapat masuk ke dalam pesona tersebut dan membuka diri dalam
cinta. Oleh karena itu hanya orang yang mencintai yang dapat mengerti orang
lain karena hanya dalam cinta masing – masing saling membuka. Menurut Max orang
yang mencintai, alam nilai akan dapat membuka diri dan nilai menjadi tajam. Max
memahami bahwa pesona sebagai makhluk yang berhasrat dan mampu untu mencintai.
Hasrat terdalam manusia adalah masuk kedalam keselarasan dengan cinta persona
asali. Yaitu Allah. Ia menolak menyatakan bahwa cinta kasih adalah sublimasi
nafsu. Cinta bukan mau merebut melainjan mau memberikan. Cinta adalah gerakan
naik dari nilai-nilai rendah ke nilai-nilai tinggi yang semakin menyatakan
diri.
Scheler
memiliki teori tentang nilai, karena nilai itu bersifat mandiri atau
independent. Maka memiliki tingkatan – tingkatan antara lain, nilai kesenangan
atas dasar penangkapan indrawi, nilai vital yang mendukung kehidupan dan
peradaban, menyangkut pengalaman yang lebih mendalam seperti rasa takut, lemah,
kekrasan, kehalusan, kekuatan, dan kelemahan, kesehatan, dsb, nilai – nilai
rohani, seperti nilai esteti meyangkut rasa keindahan nilai epistemologis yang
menyangkut benar salah, rasa keadilan dan ketidakailan, nilai religius,
berkaitan dengan yang kudus, nilai rohani dan religius berlaku untuk makhluk
manusiawi sebagai ukuran pribadi. Nilai tidak tergantung bendanya, namun
memberi kualifikasi/sifat pada benda/kegiatan.
Menurut
Scheler ada tiga macam kegiatan manusia yang memiliki ciri khas kemanusiaanya
sebagai pribadi, antara lain refleksi yaitu kegiatan membuat dirinya sebagai
obyek pemikiran, abstraksi atau ideasi yang menangkap hakekat dari keberadaan
di luar dirinya ( eksistensi ), cinta merupakan suatu kegiatan paling penting
sebagai pribadi. Ajaran mengenai cinta
ini dipengaruhi Plato dan Agustinus yang menampakkan sifat mistis dan religius.
Pengetahuan penting yang melibatkan pribadi berpartisipasi dengan yang
esensial/hakiki. Berfilsafat bukan pertama-tama abstraksi tapi moral yaitu
cinta.
Cinta merupakan bagian
pribadi manusia yang diarahkan kepada
nilai absolut. Cinta ini megarahkan pribadi melampaui keterbatasannya (unsur
transendensi)2
2lihat (http://edyintelectus.blogspot.com/2011/06/max-scheler.html)
diakses pada tanggal 28 Juni 2014 pukul 15.30 WIB
|
EMMANUEL
LEVINAS : ETIKA TANGGUNG JAWAB
Emmanuel
Levinas lahir pada tahun 1906 Kaunas, Lithuania, berasal dari sebuah keluarga Yahudi. Dia belajar di
Universitas Strasburg pada tahun 1923 dan pada tahun 1928-1929, selama dua
semester ia belajar di Freiburg, Jerman, pada Edmund Husserl dan Martin
Heidegger. Pada tahun 1940 ia menjadi tawanan perang Jerman selama lima tahun.
Pada tahun 1947, ia menjadi dierektur “Ecole Normale Israelite Orientale” di
Paris. Setelah disertasinya Totalite et Infini terbit tahun 1961, ia
diangkat menjadi guru besar filsafat di kota Poiters. Levinas meninggal pada
tanggal 25 Desember 19953
3 lihat : (Franz-Magnis Suseno, Etika
Abad ke-20: 12 Tokoh Kunci (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hal 88)
|
Dalam buku pertamanya,
”Totalite et Infinite”, terungkap bahwa Lévinas menolak dengan filsafat
yang cenderung menyamaratakan yang berbeda dan yang berlainan dalam sebuah
Totalitas. Pandangan yang telah ditolak oleh Lévinas ini dinamakan dengan
sokratisme. Sokratisme mendasari adanya filsafat identitas idealisme Jerman
abad ke-19. Banyak orang mati karena filsafat ini yang terwujud dalam NAZI4
4 lihat : (Frans Magnis Suseno,
12 Tokoh Etika abad-20, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hlm 91)
|
Pemikiran
– pemikiran Levinas sangat berbeda dari filsuf etika yang lainnya, dia tidak
mempertanyakan prinsip – prinsip moral, cara – cara mengatur manusia, akan
tetapi berusaha menunjukan bahwa manusia dalam segala sikapnya di dorong oleh
suatu tanggung jawab terhadap sesamanya. Beliau tidak merespon suatu teori yang
baru namun menunjuk pada sebuah kenyataan yang seringkali terpendam dalam
kesadaran diri kita. Dari pemikiran Husserl, Levinas mengambil alih metode fenomenologi
yang di pandang oleh levinas sebagai seni untuk melihat apa yang sebenarnya
ada, namun tidak pernah kita perhatikan. Gagasan Levinas pun di rasa tidak
normatif, Levinas memang menggunakan istillah “ tanggung jawab “ dalam
gagasannya. Tanggung jawab disini bukanlah dalam arti sehari – hari, akan
tetapi muncul begitu saja begitu seorang muncul di depan kita bahkan ketika
kita belum mengambil sikap kepadanya, inilah tanggung jawab primordial.
Levinas
memiliki pandangan tentang “ orang lain “, menurutnya orang lain adalah orang
asing (stranger). Dengan kita banyak melihat orang lain sebagai orang asing,
maka kita menjadikan orang lain sebagai eksterioritas. Di dalam diri Levinas,
orang asing benar – benar menampakan alteritasnya (keberlainannya) dengan
bebas. Dalam membangun suatu relasi etis dengan sesama adalah tanggung jawab
diriku. Aku telah terikat pada dirinya sebelum segala sesuatu dibuat, inilah
yang dinamakan tanggung jawab primodial yang memiliki semangat persahabatan.
Persahabatan selalu mengarah dan menuju pada orang lain dan tidak pernah untuk
diri sendiri. Persahabatan yang dimaksud adalah ketidakmungkinan diriku
meninggalkan sahabat berada di ambang maut5
5 lihat : (Emmanuel Lévinas, Totality
and Infinity, trans. Alphonso Lingis, Pittsburgh: Duquesme University
Press, 1969, hal 266.)
|
Tanggung
jawab meruapakan yang menjadi ikatan mengacu kepada realitas bahwa sejak semula
tanggung jawab sudah ada sebelum suatu komitmen dibuat untuk dan demi tanggung
jawab. Menurut Levinas tanggung jawab dimulai ketika wajah orang lain menatap
wajahku. Dengan demikianlah karakter tanggung jawab tersebut adalah asimetris,
yaitu akulah pelaksana tanggung jawab itu dan aku tidak bisa tidak bertanggung
jawab terhadap orang lain, tetapi aku tidak bisa menuntut tanggung jawabmu
terhadap aku. Pemikirannya mengatakan rasa tanggung jawab itu akan menjadi
ter-subtitusi, dimana akan menjadi mengambil tempat orang lain dan sepenuhnya
bertanggung jawab atasnya. Jika meletakkan diri pada tempat orang lain itu
berarti menjawab segala sesuatunya yang dibuat oleh orang lain sekaligus
bertanggung jawab atas persoalan – persoalan dan kesalahan – kesalahan yang
telah dibuatnya. Ego bukan lagi sebuah ego yang bersifat egoistis, melainkan
ego yang adalah aku menjawab “hear i am” untuk semua orang dan segala
sesuatunya6
6 lihat : (Emmanuel Levinas, Otherwise
Than Being, trans. Alphonso Lings, Pittburgh: Duquesne University Press,
1998, hal. 144)
|
0 komentar:
Posting Komentar