Etika Nilai dan Etika Tanggung Jawab

by 8/20/2014 0 komentar


Oleh :
Agus Sulistiyono
MAX SCHELER : ETIKA NILAI

            Max Scheler lahir di Munchen Jerman selatan pada tanggal 22 Agustus 1874. Ibunya Yahudi dan ayahnya protestan. Kesukaannya pada ilmu pengetahuan membuat Scheler kecil yang berusia 15 tahun rela kehilangan harta warisan dari seorang paman Yahudi yang kaya untuk menuntut ilmu di Gereja Katolik. Perjalanan hidup dan pemikiran Max tidak dapat dilepaskan dengan langkah - langkah kehidupannya yang berliku mengenai wanita, karir, dan intelektualnya. Max pernah berkata bahwa “Untuk mengembangkan segala filsafat yang ada dalam diriku, aku seharusnya memerlukan setidaknya 7 wanita”. Max Scheler memiliki pemikiran tentang fenomonologis, beliau banyak terpengaruh dan terobsesi oleh gurunya Edmund Husserl. Menurutnya filsafat jangan bertolak dari segala macam teori, prinsip pengandaian, keyakinan dan sebagainya. Melainkan harus memperhatikan apa yang nyata-nyata memperlihatkan diri dalam pemikiran kita. Max memiliki metode yaitu metode enbelen yang merupakan penghayatan segar terhadap pengalaman. Suatu kebenaran bukanlah hasil pikiran atau suatu pertimbangan, melainkan harus dicari dengan membuka diri. Atas dasar yang demikian yang terbuka terhadap kenyataan yang menyatakan diri itu lalu beliau berefleksi dan ingin mencoba memahami dan mempelajari lebih dalam.
            Beliau memiliki etika filsafat yang dinamakan etika Scheler yang merupakan tentang manusia, agama, pesona, dan Tuhan yang telah berakar dalam sebuah pengalaman dasar dan pengalaman akan nilai. Max merupakan lawan pemikiran dari Kant dan Nietzhe. Kant berfikir bahwa moralitas seseorang bersidat formalisme, karena bergantung pada situasi dan kondisi serta tidak mutlak. Sebuah perbuatan yang baru akan bernilai moral bila tindakan itu adalah berbentuk murni karena merupakan suatu kewajiban. Akan tetapi Scheler membantahnya karena mnurutnya apa yang Kant pikirkan tesebut bukanlah hakikat moralitas yang sebenarnya. Jika sebuah tindakan bernilai secara moral karena merupakan kewajiban, melainkan merupakan kewajiban karena bernilai secara moral. Nilai mendahului kewajiban. Inti moralitas bukanlah kesediaan untuk memenuhi kewajiban, melainkan kesediaan untuk merealisasikan apa yang bernilai. Sehingga untuk dapat mengusahakan nilai-nilai moral, manusia tidak perlu diperintahkan karena manusia dengan sendirinya tertarik oleh apa yang bernilai. Nilai menjadi pusat moralitas1.
1Lihat (http://www.scribd.com/doc/98272388/12-Tokoh-Etika-Abad-Ke-20) diakses pada tanggal 28 Juni 2014 pukul 15.00 WIB

            Nilai itu sendiri merupakan tindakan apriori. Suatu keberadaannya tidak tergantung pada apakah perbuatannya atau tidak. Menurut max nilai kejujuran tidak bergantung dari adanya orang yang jujur, nilai itu sendiri mendahului segala pengalaman walau suatu tindakan tersebut bernilai. Scheler menyebutkan bahwa etikanya sebagai nilai material jujur. Jujur, vital, enak, adil, indah, kudus dan semua nilai yang kita langsung tau “apanya”. Selain itu kewajiban akan jadi tidak dimengerti karena kita tidak tahu apa yang wajib kita lakukan. Menurut Kant tidak melihat bahwa nilai mendahului segala pengalaman dan tidak tergantung dari sebuah konteks dan bernilai apriori serta mutlak. Pandangan Scheler pun juga berlawanan dengan Nietzhe yang berpandangan relativisme pada etika. Beliau berfikir bahwa nilai tidak diciptakan, melainkan ditemukan.  Nilai memiliki objektivitas yang sama dengan hukum logika. Manusia bisa saja buta nilai atau tidak menyadari sebuah nilai, tetapi nilai itu tetap “ada”.
            Menurut Scheler bahwa nilai itu tidak dapat dipikirkan, akan tetapi hanya dapat dirasakan ( pendapat Scheler yang benar-benar terbaru ). Orang – orang filsafat barat jarang membicarakan tentang rasa, karena biasanya akan kalah antara pengetahuan rohani dengan pengalaman indrawi. ‘merasa’ bukan merupakan suatu hasil dari pengalaman indrawi, tapi merupakan suatu yang khas yang dimiliki oleh manusia. Maka dari itu beliau membuat sumber pengetahuan yang baru berupa apriori emosional. Objek indrawi ditangkap, konsep dipikirkan tetapi nilai dirasakan. Ia menilai bahwa perasaan sebagai keadaan subyektif kita sendiri. Ia juga mengembangkan nilainya tentang pesona dan cinta. Dengan memiliki pesona maka manusia berbeda dengan binatang, karena binatang tidak memiliki nilai. Manusia juga yang merupakan makhluk yang ingstingtual maka akan mengetahui dan menyadari mana yang baik dan mana yang buruk untuk dirinya. Suatu pesona tidak dapat identik dengan sesuatu karena pesona akan dapat di ketahui dari luar. Akan tetapi kita dapat masuk ke dalam pesona tersebut dan membuka diri dalam cinta. Oleh karena itu hanya orang yang mencintai yang dapat mengerti orang lain karena hanya dalam cinta masing – masing saling membuka. Menurut Max orang yang mencintai, alam nilai akan dapat membuka diri dan nilai menjadi tajam. Max memahami bahwa pesona sebagai makhluk yang berhasrat dan mampu untu mencintai. Hasrat terdalam manusia adalah masuk kedalam keselarasan dengan cinta persona asali. Yaitu Allah. Ia menolak menyatakan bahwa cinta kasih adalah sublimasi nafsu. Cinta bukan mau merebut melainjan mau memberikan. Cinta adalah gerakan naik dari nilai-nilai rendah ke nilai-nilai tinggi yang semakin menyatakan diri.
            Scheler memiliki teori tentang nilai, karena nilai itu bersifat mandiri atau independent. Maka memiliki tingkatan – tingkatan antara lain, nilai kesenangan atas dasar penangkapan indrawi, nilai vital yang mendukung kehidupan dan peradaban, menyangkut pengalaman yang lebih mendalam seperti rasa takut, lemah, kekrasan, kehalusan, kekuatan, dan kelemahan, kesehatan, dsb, nilai – nilai rohani, seperti nilai esteti meyangkut rasa keindahan nilai epistemologis yang menyangkut benar salah, rasa keadilan dan ketidakailan, nilai religius, berkaitan dengan yang kudus, nilai rohani dan religius berlaku untuk makhluk manusiawi sebagai ukuran pribadi. Nilai tidak tergantung bendanya, namun memberi kualifikasi/sifat pada benda/kegiatan.
            Menurut Scheler ada tiga macam kegiatan manusia yang memiliki ciri khas kemanusiaanya sebagai pribadi, antara lain refleksi yaitu kegiatan membuat dirinya sebagai obyek pemikiran, abstraksi atau ideasi yang menangkap hakekat dari keberadaan di luar dirinya ( eksistensi ), cinta merupakan suatu kegiatan paling penting sebagai pribadi. Ajaran mengenai cinta ini dipengaruhi Plato dan Agustinus yang menampakkan sifat mistis dan religius. Pengetahuan penting yang melibatkan pribadi berpartisipasi dengan yang esensial/hakiki. Berfilsafat bukan pertama-tama abstraksi tapi moral yaitu cinta. Cinta merupakan bagian pribadi manusia yang diarahkan  kepada nilai absolut. Cinta ini megarahkan pribadi melampaui keterbatasannya (unsur transendensi)2
2lihat (http://edyintelectus.blogspot.com/2011/06/max-scheler.html) diakses pada tanggal 28 Juni 2014 pukul 15.30 WIB

EMMANUEL LEVINAS : ETIKA TANGGUNG JAWAB

            Emmanuel Levinas lahir pada tahun 1906 Kaunas, Lithuania, berasal  dari sebuah keluarga Yahudi. Dia belajar di Universitas Strasburg pada tahun 1923 dan pada tahun 1928-1929, selama dua semester ia belajar di Freiburg, Jerman, pada Edmund Husserl dan Martin Heidegger. Pada tahun 1940 ia menjadi tawanan perang Jerman selama lima tahun. Pada tahun 1947, ia menjadi dierektur “Ecole Normale Israelite Orientale” di Paris. Setelah disertasinya Totalite et Infini terbit tahun 1961, ia diangkat menjadi guru besar filsafat di kota Poiters. Levinas meninggal pada tanggal 25 Desember 19953

3 lihat : (Franz-Magnis Suseno, Etika Abad ke-20: 12 Tokoh Kunci (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hal 88)
           
Dalam buku pertamanya, ”Totalite et Infinite”, terungkap bahwa Lévinas menolak dengan filsafat yang cenderung menyamaratakan yang berbeda dan yang berlainan dalam sebuah Totalitas. Pandangan yang telah ditolak oleh Lévinas ini dinamakan dengan sokratisme. Sokratisme mendasari adanya filsafat identitas idealisme Jerman abad ke-19. Banyak orang mati karena filsafat ini yang terwujud dalam NAZI4
4 lihat : (Frans Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika abad-20, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hlm 91)

            Pemikiran – pemikiran Levinas sangat berbeda dari filsuf etika yang lainnya, dia tidak mempertanyakan prinsip – prinsip moral, cara – cara mengatur manusia, akan tetapi berusaha menunjukan bahwa manusia dalam segala sikapnya di dorong oleh suatu tanggung jawab terhadap sesamanya. Beliau tidak merespon suatu teori yang baru namun menunjuk pada sebuah kenyataan yang seringkali terpendam dalam kesadaran diri kita. Dari pemikiran Husserl, Levinas mengambil alih metode fenomenologi yang di pandang oleh levinas sebagai seni untuk melihat apa yang sebenarnya ada, namun tidak pernah kita perhatikan. Gagasan Levinas pun di rasa tidak normatif, Levinas memang menggunakan istillah “ tanggung jawab “ dalam gagasannya. Tanggung jawab disini bukanlah dalam arti sehari – hari, akan tetapi muncul begitu saja begitu seorang muncul di depan kita bahkan ketika kita belum mengambil sikap kepadanya, inilah tanggung jawab primordial.
            Levinas memiliki pandangan tentang “ orang lain “, menurutnya orang lain adalah orang asing (stranger). Dengan kita banyak melihat orang lain sebagai orang asing, maka kita menjadikan orang lain sebagai eksterioritas. Di dalam diri Levinas, orang asing benar – benar menampakan alteritasnya (keberlainannya) dengan bebas. Dalam membangun suatu relasi etis dengan sesama adalah tanggung jawab diriku. Aku telah terikat pada dirinya sebelum segala sesuatu dibuat, inilah yang dinamakan tanggung jawab primodial yang memiliki semangat persahabatan. Persahabatan selalu mengarah dan menuju pada orang lain dan tidak pernah untuk diri sendiri. Persahabatan yang dimaksud adalah ketidakmungkinan diriku meninggalkan sahabat berada di ambang maut5
5 lihat : (Emmanuel Lévinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso Lingis, Pittsburgh: Duquesme University Press, 1969, hal 266.)

            Tanggung jawab meruapakan yang menjadi ikatan mengacu kepada realitas bahwa sejak semula tanggung jawab sudah ada sebelum suatu komitmen dibuat untuk dan demi tanggung jawab. Menurut Levinas tanggung jawab dimulai ketika wajah orang lain menatap wajahku. Dengan demikianlah karakter tanggung jawab tersebut adalah asimetris, yaitu akulah pelaksana tanggung jawab itu dan aku tidak bisa tidak bertanggung jawab terhadap orang lain, tetapi aku tidak bisa menuntut tanggung jawabmu terhadap aku. Pemikirannya mengatakan rasa tanggung jawab itu akan menjadi ter-subtitusi, dimana akan menjadi mengambil tempat orang lain dan sepenuhnya bertanggung jawab atasnya. Jika meletakkan diri pada tempat orang lain itu berarti menjawab segala sesuatunya yang dibuat oleh orang lain sekaligus bertanggung jawab atas persoalan – persoalan dan kesalahan – kesalahan yang telah dibuatnya. Ego bukan lagi sebuah ego yang bersifat egoistis, melainkan ego yang adalah aku menjawab “hear i am” untuk semua orang dan segala sesuatunya6
6 lihat : (Emmanuel Levinas, Otherwise Than Being, trans. Alphonso Lings, Pittburgh: Duquesne University Press, 1998, hal. 144)

Unknown

Gue Yang Punya

Seorang bloger pemula, suka banget ngemil, alhamdulillah anak kandung bukan anak pungut, lagi studi S1 Mikrobiologi di SWCU , Salatiga.

0 komentar:

Posting Komentar